Aliran ”Sesat” di Indonesia: Suatu Kajian tentang Interpretasi al-Quran dalam Perspective Linguistik

Aliran ”Sesat” di Indonesia: Suatu Kajian tentang Interpretasi al-Quran dalam Perspective Linguistik

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun selain agama Islam, Indonesia juga mempunyai lima agama lain yang resmi, yaitu Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau Indonesia dijadikan sebagai salah satu laboratorium pluralisme di dunia. Dengan kata lain masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural.

Pluralisme yang ada di Indonesia merupakan cerminan pluralisme ideologi yang mewarnai bangsa ini karena setiap agama mempunyai ideologinya masing-masing. Oleh karena itu, pergesekan pemikiran antar ideologi merupakan hal yang tak dapat terelakkan. Jadi wilayah Indonesia ini terdiri atas kumpulan berbagai macam ideologi yang ”hidup” saling berdampingan. Maka tidak menutup kemungkinan suatu ideologi akan bisa memengaruhi idelogi yang lain, atau pemikiran satu akan memengaruhi pemikiran yang lain.

Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam. Di dalamnya terdapat banyak ajaran ”Ketuhanan”. Selain itu, Al-Quran juga dijadikan sebagai pegangan hidup umat Islam Indonesia, bahkan dunia. Oleh karena al-Quran sebagai pegangan hidup, maka ajaran yang ada di dalamnya pun tidak akan terlepas dari yang namanya ideologi.

Ideologi adalah kelompok atau kumpulan ide-ide yang teratur atau bersistem yang dijadikan sebagai asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan, baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi, maupun hukum, untuk kelangsungan hidup; pandangan hidup[1].

Berdasarkan definisi ideologi di atas, maka di dalam al Quran terdapat banyak ide. Ide-ide tersebut perlu diinterpretasikan agar lebih mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ketika proses interpretasi ini dilakukan oleh setiap individu atau kelompok, ternyata hasil atau simpulan yang diperoleh pun berbeda-beda.

Bermula dari perbedaan simpulan terhadap penafsiran isi al-Quran inilah, maka kata ”sesat” di Indonesia mulai ”berkembang”. Kata tersebut biasanya disandingkan dengan aliran-aliran yang mengaku Islam, tapi memiliki cara pandang yang berbeda dengan aliran Islam pada umumnya.

Dalam pandangan linguistik, kata tersebut hanyalah label atau lambang. Namun, dampak dari dipergunakannya lambang tersebut -yang disandingkan dengan seseorang atau sekelompok orang- akan memberikan nilai negative bagi yang disandinginya. Dalam konteks ini, penulis akan mengkaji kata ”sesat” dengan pendekatan linguistik. Salah satu bidang kajian lingusitik adalah kata, maka pendekatan linguistik ini sangatlah tepat.

Bahasa

Menurut Wardaugh, bahasa adalah seperangkat pengetahuan yang digunakan untuk menyatakan atau mengungkapkan sesuatu dalam bentuk suara, kata-kata, atau kalimat. It is knowladge of rules and ways of saying and doing things with sounds, words and sentences without any guiding principle for their use[2]. Jadi, masih menurut Wardaugh, kumpulan suara, kata atau bahkan kalimat bisa dikatakan sebagai sebuah bahasa kalau kumpulan-kumpulan itu mengandung aturan. Dengan kata lain, kumpulan itu sersifat sistematis.

Sedangkan menurut Chaer, pengertian bahasa bisa diteropong melalui ciri-ciri yang ada dalam bahasa. Ciri-ciri bahasa yang juga merupakan hakikat bahasa itu, antara lain, adalah bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi[3].

Jadi, dalam konteks ini penulis berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem lambang yang berbentuk bunyi dan bersifat sistematis serta memiliki makna yang terkandung dalam kata dan kalimat serta wacana.

Berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka kita bisa mengambil benang merah bahwa sesuatu bisa dikatakan bahasa jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1. memiliki lambang dan bunyi

2. bersifat sistematis

3. memiliki makna

4. berbentuk kata, kalimat dan wacana

Pertama, bahasa memiliki lambang dan bunyi. Jadi keberadaan sebuah bahasa tidak hanya mengandung lambang, namun juga bunyi. Oleh karena itu lambang-lambang, seperti gambar sendok dan garpu yang ada di restoran, belum bisa disebut sebagai bahasa karena tidak memiliki bunyi. Hubungan antara lambang dan bunyi dalam bahasa tidak bisa dipisahkan karena keduanya adalah faktor dasar dalam bahasa. Namun kedua unsur di atas belumlah cukup, karena walaupun ada lambang dan bunyi, kalau keduanya tidak memiliki sistem yang sistematis, maka itu bukanlah bahasa.

Oleh karena itu, syarat yang kedua adalah bersifat sistematis. Dengan kata lain, lambang dan bunyi haruslah memiliki pola tertentu. Dalam konteks ini, makna sistematis merujuk pada pengertian yang dibut oleh Chaer, menurutnya sistematis maksudnya adalah suatu bahasa tersusun menurut pola tertentu, tidak tersusun secara acak atau sembarangan[4]. Ambil saja sebuah contoh kata [k/a/d/e/r]. Kata itu merupakan kumpulan lambang yang memiliki bunyi (sistem fonetik) ”k/a/d/e/r” yang tersusun secara sistematis.

Ke tiga adalah bermakna. Jika unsur pertama dipertemukan dengan unsur yang ke dua, maka akan melahirkan sebuah konsep atau makna. Sebuah makna awalnya terkonstruk dalam otak manusia, yang kemudian disepaakti bersama antara anggota masyarakat sebagai pengguna bahasa. Oleh karena itu, makna pada dasarnya bersifat abstrak yang ada dalam pikiran manusia. Konsep makna semacam ini dimunculkan oleh Kempson dalam bukunya semantic theory, menurut Kempson another solution to the problem of explaining the nature of word meaning, which has an equally long tradition, is to explain the meaning of a word in terms of in the speaker’s (or hearer’s) brain[5].

Ke empat adalah Bahasa berbentuk kata, kalimat dan wacana. Kata adalah kumpulan dari lambang yang berupa huruf dan bersifat sistematis. Sedangkan kalimat adalah kumpulan dari kata yang bersifat sistematis. Selanjutnya wacana adalah kumpulan arti kalimat yang sistematis sehingga mampu membentuk pemahaman yang komprehensif. Inilah unsur bahasa yang terbesar pada saat ini. Menurut Rosidi[6] dalam beberapa kuliahnya tentang linguistik ia berpendapat bahwa dalam sebuah wacana terdapat sebuah ideologi. Menurut penulis ideologi tersebut memiliki fungsi yang sama dengan makna sebagai pencakup sebuah konsep. Namun wilayah ideologi lebih luas dari pada wilayah makna.

Berdasarkan uraian di atas,maka menurut penulis sesuatu hal bisa disebut bahasa jika terdiri atas bentuk dan makna. Selanjutnya sebuah bentuk dalam bahasa terdiri atas lambang dan bunyi, dalam linguistik kita mengenal phonem-fonetik, morfem dan sebagainya. Selanjutnya sebuah lambang bisa berupa huruf, kata, kalimat ataupun wacana. Jadi, kata ”sesat” dalam topik kita kali ini merupakan wilayah kajian bahasa.

Bahasa dan Masyarakat

Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa itu juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat mengidentifikasi diri[7]. Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi bahasa ada dua, yaitu:

1. Sebagai alat interaksi sosiaal, dan

2. Sebagai alat untuk mengidentifikasi diri

Bahasa sebagai alat interaksi sosial berarti bahasa digunakan sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat dalam lingkungan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa merupakan alat untuk menyampaikan gagasan dari pembicara kepada pendengar. Contoh, di lingkungan sekolah, bahasa berfungsi sebagai alat interaksi antara guru dengan murid, guru dengan kepala sekolah, dan murid dengan murid. Tentunya dalam interaksi tersebut, ada informasi atau pesan yang ingin disampaikan oleh pembicara kepada pendengar, misal materi pelajarannya.

Di lain sisi, bahasa juga sebagai alat untuk mengidentifikasi diri, baik pribadi maupun kelompok.. Jadi, keberadaan bahasa dalam masyarakat, merupakan cerminan dari masyarakat tersebut. Setiap anggota masyarakat (atau bahkan secara individu), memiliki karakteristik masing-masing dalam berbahasa. Dalam kelompok, kita mengenal istilah dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu[8]. Jadi wilayah atau tempat di mana bahasa itu digunakan mempengaruhi penggunaan bahasa tersebut. Contoh, bahasa kelompok masyarakat pesisir akan berbeda dengan bahasa pada kelompok masyarakat pesantren. Karena kondisi geografis dan lingkungan menentukan perbedaan penggunaan bahasa oleh penuturnya.

Dalam lingkup perseorangan, kita mengenal istilah idiolek, yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan[9]. Jadi, dalam hal ini, tiap orang memiliki karakteristik masing-masing dalam penggunaan bahasa. Dengan kata lain, akan ada perbedaan bahasa pada masing-masing individu, baik yang berhubungan dengan kualitas suara, pemilihan kata (diksi), maupun gaya bahasanya.

Jadi, menurut uraian di atas, bahasa memang benar-benar berfungsi sebagai alat untuk mengidentifikasi diri, baik individu maupun kelompok. Salah satu alasan bahwa bahasa bisa digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi diri karena bahasa merupakan bagian dari masyarakat, dalam hal ini bahasa merupakan sub-bagian dari budaya yang ada dalam masyarakat

Dalam satu aspek kebudayaan, Sapir dan muridnya, Whorf, berpendapat dalam Samsuri bahwa bahasa itu menentukan dan memainkan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kebudayaan manusia. Aspek pikiran dan cara berfikir manusia sangat dipengaruhi oleh bahasa mereka[10] jadi, berdasarkan uraian di atas tentang hubungan bahasa, kebudayaan, dan cara berpikir seseorang, maka kita bisa membuat simpulan dalam subbab ini bahwa cara berfikir seseorang dalam memandang sesuatu mendapatkan intervensi dari bahasa yang mereka miliki.

Peranan Bahasa dalam Kajian Keislamana

Di awal pembahasan, kita telah membicarakan dengan panjang lebar tentang bahasa. Dalam subbab ini, penulis akan membahas tentang peranan bahasa terhadap kajian keislaman.

Salah satu sumber kajian keislaman adalah al Quran. Oleh karena itu, dalam hal ini kita akan memposisikan al Quran sebagai sumber informasi.kita tidak akan memperoleh informasi dari al Quran jika kita tidak memiliki alat untuk memperoleh informasi tersebut. Alat yang dimaksudkan di sini adalah bahasa. Menurut Kinneavy dalam Chaer bahwa lima fungsi dasar bahasa adalah expression, information, exploration, persuasion, dan entertainment[11].

Dua dari fungsi bahsa di atas adalah exploration dan information. Dengan kata lain, kita bias memanfaatkan bahasa untuk mencari informasi yang terkandung dalam al Quran. Jadi, posisi bahasa dalam konteks ini adalah sebagai perantara antara pembaca dengan al Quran. Fungsi pembaca dalam konteks ini adalah sebagai interpreter isi al Quran dengan menggunakan bahasa.

Multi-Interpretasi Al-Quran dalam Perspektif Linguistik

Dalam subbab ini, kita akan membahas keragaman hasil penafsiran al-Quran dengan pendekatan linguistic (kebahasaan).. Namun, penulis hanya akan membatasi pembahasan tentang bagaimana proses munculnya beberapa interpretasi dalam memahami Al-Quran sehingga memunculkan aliran-aliran baru tersebut. Untuk menganalisis fenomena di atas, penulis akan menggunakan “The Image Theory of Meaning” oleh Kempson dalam bukunya “Semantics Theory”. Menurut Kempson Another solution to the problem of explaining the nature of word meaning, which has an equally long tradition, is to explain the meaning of a word in terms of the image in the speaker’s (or hearer’s) brain[12].

Dari uraian Kepson di atas, ia mengatakan bahwa untuk menjelaskan makna kata, hal itu bisa dilakukan melalui gambaran yang dimiliki oleh pembicara (penulis) atau pendengar (pembaca). Jadi menurut dia, makna sebuah kata itu tergantung pada gambaran yang dimiliki oleh pembicara atau pendengar. Kemudian, menurut penulis gambaran seseorang tentang sesuatu itu tergantung pada kondisi sosial atau latar belakang hidup pembicara atau pendengar, bahkan tergantung pada pengalaman hidup mereka juga. Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa pembacaaan seseorang terhadap Al-Quran masih rawan akan kontaminasi pikiran-pikiran yang bersifat manusiawi.

Sumber data penulisan artikel ini adalah ungkapan verbal para pemimpin aliran-aliran yang dianggap sesat tersebut, lebih terinci lagi yaitu, hasil ijtihad mereka tentang ajaran-ajaran dalam agama Islam, antara lain, sholat lima waktu tidak wajib, zakat tidak diwajibkan, puasa boleh ditinggalkan tanpa syarat apapun dan haji tidak harus ke Makkah, atau bahkan ada yang tidak mewajibkan haji.

Dalam fenomena di atas, para pimpinan aliran yang dianggap “sesat” itu sebagai pembaca, maksudnya adalah pembaca al-Quran. Pembacaaan mereka terhadap al-Quran, menurut penulis, masih sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, keadaan ssosial atau pengalaman hidup mereka.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang fenomena di atas, penulis akan mengajak pembaca untuk membahas tentang al-Quran itu sendiri, dengan harapan kita sama-sama memiliki pandangan yang sama tentang al-Quran atau dengan kata lain penulsi berusaha untuk menyamakan persepsi.

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Al-Quran adalah bahan bacaan bagi umat Islam dan sebagai kitab suci umat Islam, serta sebagai pegangan hidup bagi mereka. Hal ini senada dengan pendapat Hasbi ash-Shiddieqy dalam Nata (1992: 53) bahwa Al-Quran menurut bahasa adalah bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut Manna’ al-Qaththan dalam Nata (1992: 54) Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW dan membacanya bernilai ibadah. Kata kalam, masih menurut Qaththan, sebenarnya meliputi seluruh perkataan, namun karena istilah itu disandarkan kepada Allah , maka kata “perkataan” tidak dimasukkan dalam istilah Al-Quran.

Oleh karena itu di dalam Al-Quran terdapat banyak pesan Ilahiah yang perlu dimengerti dan dijalankan oleh umat Islam, karena itu merupakan kalamullah. Di dalam Al-Quran ada banyak hal yang dapat dikaji, antara lain, tentang sejarah, tauhid, akhlahk politik, sosial, dan sebagainya.

Oleh karena itu, sangatlah wajar jika al-Quran dijadikan sebagai pedoman hidup. Namun informasi yang ada dalam al-Quran masih bersifat umum, maksudnya, perintah atau larangan yang ada di dalamnya masih perlu dijelaskan dan diinterpretasikan lagi. Oleh karena itu, keberadaan Hadits sangatlah penting sebagai “pendamping “ Al-Quran, terlebih setelah Rasulullah wafat. Bahkan dalam tradisi Nadliyin ada Ijma dan Qiyas dalam menginterpretasikan isi al-Quran itu.

Bahkan pada saat ini, ada berbagai macam cara yang dilakukan orang untuk menginterpretasikan al-Quran, mulai dari mencoba memahami al-Quran dari terjemahannya hingga dengan menggunakan pendekatan hermeneutik. Sehingga wajarlah muncul pendapat-pendapat tentang pesan Ilahiyah yang mencoba mengaktualisasikan “maksud” Tuhan, bahkan sebagaian kecil dari pendapat itu dijadikan sebagai keyakinan dan lambat laun dijadikan sebagai sebuah aliran.

Di awal subbab tulisan ini, penulis telah mengatakan bahwa hasil interpretasi seseorang terhadap isi al-Quran masih rawan terkotaminasi oleh pikiran-pikiran yang bersifat manusiawi. Maksudnya adalah, apa yang mereka ungkapkan tentang Al-Quran masih dipengaruhi oleh pengalaman hidup atau lingkungan pembacanya.

Dalam pandangan empiris murni teori psikolinguistik dikatakan bahwa “makin banyak rangsang bahasa yang diterima dari luar, maka makin banyak asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam ingatannya”[13]. Dalam teori ini dijelaskan bahwa lingkungan memiliki pengaruh terhadap asosiasi pengetahuan yang ada dalam otak manusia. Berdasarkan teori ini penulis berpendapat bahwa lingkungan berpengaruh terhadap pola pikir seseorang.

Oleh karena itu, ketika ada simpulan dari pembacaan al Quran oleh beberapa pimpinan aliran yang dianggap “sesat” tentang tidak diwajibkannya sholat lima waktu, misal, adalah hasil dari pembacaan seseorang terhadap isi al-Quran yang hanya mewajibkan sholat saja (tanpa ada keterangan sholat lima waktu di dalamnya. Salah satu aliran yang disinyalir sesat, Al Qiyadah misal, memiliki pemimpin yang notabenennya adalah mantan olahragawan. Jika kita kembali pada “the Image Theory of Meaning, maka penulis berpendapat bahwa keadaan lingkungan atau pengalaman hidup sang “nabi baru” itu (sebagai olahragawan) bisa memengaruhi pola pikirnya, yang pada akhirnya akan memengaruhinya dalam memandang sesuatu yang ada di sekitar lingkungannya. Bahkan menurut penulis, hal itu akan memengaruhi cara berfikirnya dalam menginterpretasikan isi pesan-pesan Ilahi yang ada dalam Al-Quran. Jadi, berdasarkan “the Image Theory of Meaning” penulis berpendapat bahwa makna yang tertulis dalam kitab suci Al-Quran akan diinterpretasikan berdasarkan gambaran (pola pikir atau pengalaman hidup) yang tersimpan dalam benak pembacanya.

Kembali pada kata “sesat” yang sempat merebak di masyarakat. Kenapa kata itu muncul? Apa makna dan maksud dimunculkannya kata tersebut? Dalam teori makna yang diunkapkan oleh Kempson bahwa the representationof logical form given to a statement (or sentence) is decided on the basis of the inferences relating to logical truth,[14] teori ini mengatakan bahwa sesuatu makna bisa dikatakan benar kalau makna tersebut logis.

Pola pikir ulama salaf sehingga memunculkan kata “sesat” adalah sebagai berikut

v Premis Umum: aliran yang menghasilkan ajaran yang tidak sesuai dengan al Quran-Hadits adalah sesat

v Premis Khusus: ajaran al Qiyadah tidak sesuai dengan al Quran Hadits

v Simpulan: ajaran al Qiyadah[15] sesat

kata “sesat” dalam masyarakat kita bernilai negative, oelh karena itu kata ini dipilih dengan tujuan untuk mncegah merebaknya aliran yang mereka anggap bernilai negative.

Berdasarkan uraian di atas, maka kita seharusnya berhati-hati dan selektif dalam memilih sebuah aliran-aliran agama yang sudah mulai menjamur di masyarakat, dalam hal ini adalah melihat pemimpin aliran tersebut. Sehingga kita bisa menilai kualitas hasil berfikir seseorang berdasarkan latar belakang hidup atau pengalaman hidup orang tersebut, sehingga kalau ada penyelewengan makna kita tidak mudah terpedaya.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer,Abdul. 1995. Sosiolinguistik Sebuah Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Kempson, Ruth M. 1977. Semantic Theory. Melbourne:Cambridge University Press.

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama.

Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XIX. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Wardaugh, Ronald. 1986 an Introduction to Sosiolinguistics. New York: Oxford University Press.

Y Al Barry, M. Dahlan dan L. lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual. Surabaya: Target Press.



[1] M. Dahlan Y Al Barry dan L lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual (Surabaya: Target Press, 2003), hlm.296

[2] Ronald Wardaugh, an Introduction to Sosiolinguistics, (New York: Oxford University Press, 1986), hlm.2.

[3] Abdul Chaer, Sosiolinguistik Sebuah Pengantar, (Jakarta:Rineka Cipta, 1995), hlm.13.

[4] ibid, hlm.14

[5] Ruth M. Kempson, Semantic Theory,(Melbourne:Cambridge University Press, 1977), hlm.15

[6] Dosen UIN Malang sekaligus peneliti ilmu-ilmu sosial dan bahasa

[7] Chaer, Op.Cit, hlm.19

[8] ibid., hlm.83

[9]Ibid, Hlm.82.

[10] Sapir dan Whorf dalam Samsuri, Berbagai Aliran Linguistik Abad XIX., (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1988, hlm.56

[11] Kinneavy dalam Chaer,Op.Cit, hlm.19

[12] Kempson, Op.Cit,hlm15

[13] Samsunuwiyati Mar’at, Psikolinguistik Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.72.

[14]Kempson, Op.Cit,hlm.37

[15] Adalah salah satu contoh aliran di Indonesia yang diklaim sesat oleh Majelis Ulama Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Multi-Interpretasi Al-Quran dalam Perspektif Linguistik