Multi-Interpretasi Al-Quran dalam Perspektif Linguistik

Multi-Interpretasi Al-Quran dalam Perspektif Linguistik

Oleh: Hari Prastyo

Baru-baru ini, banyak bermunculan aliran-aliran yang disinyalir sesat oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Padahal, berdasarkan keterangan dari beberapa pimpinannya, bahwa mereka meyakini ajaran itu karena mereka memperoleh pemahaman dari pembacaan terhadap Al-Quran. Lantas, pertanyaannya adalah apakah ada yang salah dengan Al-Quran? Ataukah orang yang membacanya yang salah? Apakah pendapat kita saja yang benar? Lantas, Apa tolak ukur kita menyalahkan pendapat seseorang?

Inilah yang akan dibahas penulis dalam artikel kali ini. Namun, penulis hanya akan membatasi pembahasan tentang bagaimana proses munculnya beberapa interpretasi dalam memahami Al-Quran sehingga memunculkan aliran-aliran baru tersebut. Tentunya penulis akan menggunakan pendekatan lingusitik dalam kajian kali ini.

Untuk menganalisis fenomena di atas, penulis akan menggunakan “The Image Theory of Meaning” oleh Kempson dalam bukunya “Semantics Theory”. Menurut Kempson (1977:15) bahwa “Another solution to the problem of explaining the nature of word meaning, which has an equally long tradition, is to explain the meaning of a word in terms of the image in the speaker’s (or hearer’s) brain”.

Menurut Kepson bahwa untuk menjelaskan makna kata, itu bisa dilakukan melalui gambaran yang dimiliki oleh pembicara (penulis) atau pendengar (pembaca). Jadi menurut dia, makna sebuah kata itu tergantung pada gambaran yang dimiliki oleh pembicara atau pendengar. Kemudian, menurut penulis gambaran seseorang tentang sesuatu itu tergantung pada kondisi sosial atau latar belakang hidup pembicara atau pendengar, bahkan tergantung pada pengalaman hidup mereka juga. Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa pembacaaan seseortang terhadap Al-Quran masih rawan akan kontaminasi pikiran-pikiran yang bersifat manusiawi.

Sumber data penulisan artikel ini adalah ungkapan verbal para pemimpin aliran-aliran yang dianggap sesat tersebut, lebih terinci lagi yaitu, hasil ijtihad mereka tentang ajaran-ajaran dalam agama Islam, antara lain, sholat 5 waktu tidak wajib, zakat tidak diwajibkan, puasa boleh ditinggalkan tanpa syarat apapun dan haji tidak harus ke Makkah, atau bahkan ada yang tidak mewajibkan haji.

Dalam fenomena di atas, para pimpinan aliran yang dianggap sesat itu sebagai pembaca, maksudnya adalah pembaca al-Quran. Pembacaaan mereka terhadap al-Quran, menurut penulis, masih sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, keadaan ssosial atau pengalaman hidup mereka.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang fenomena di atas, penulis akan mangajak pembaca untuk membahas tentang al-Quran itu sendiri, dengan harapan kita sama-sama memiliki pandangan yang sama tentang al-Quran atau dengan kata lain penulsi berusaha untuk menyamakan persepsi.

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Al-Quran adalah bahan bacaan bagi umat Islam dan sebagai kitab suci umat Islam, serta sebagai pegangan hidup bagi mereka. Hal ini senada dengan pendapat Hasbi ash-Shiddieqy dalam Nata (1992: 53) bahwa Al-Quran menurut bahasa adalah bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut Manna’ al-Qaththan dalam Nata (1992: 54) Al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW dan membacanya bernilai ibadah. Kata kalam, masih menurut Qaththan, sebenarnya meliputi seluruh perkataan, namun karena istilah itu disandarkan kepada Allah , maka kata “perkataan” tidak dimasukkan dalam istilah Al-Quran.

Oleh karena itu di dalam Al-Quran terdapat banyak pesan Ilahiah yang perlu dimengerti dan dijalankan oleh umat Islam, karena itu merupakan kalamullah. Di dalam Al-Quran ada banyak hal yang dapat dikaji, antara lain, tentang sejarah, tauhid, akhlahk politik, sosial, dan sebagainya.

Oleh karena itu, sangatlah wajar jika al-Quran dijadikan sebagai pedoman hidup. Namun informasi yang ada dalam al-Quran masih bersifat umum, maksudnya, perintah atau larangan yang ada di dalamnya masih perlu dijelaskan dan diinterpretasikan lagi. Oleh karena itu, keberadaan Hadits sangatlah penting sebagai “pendamping “ Al-Quran, terlebih setelah Rasulullah wafat. Bahkan dalam tradisi Nadliyin ada Ijma dan Qiyas dalam menginterpretasikan isi al-Quran itu.

Bahkan pada saat ini, ada berbagai macam cara yang dilakukan orang untuk menginterpretasikan al-Quran, mulai dari mencoba memahami al-Quran dari terjemahannya hingga dengan menggunakan pendekatan hermeneutik. Sehingga wajarlah muncul pendapat-pendapat tentang pesan Ilahiyah yang mencoba mengaktualisasikan “maksud” Tuhan, bahkan sebagaian kecil dari pendapat itu dijadikan sebagai keyakinan dan lambat laun dijadikan sebagai sebuah aliran.

Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan pendekatan linguistik dalam memandang fenomena di atas. Di awal tulisan ini, penulis telah mengatakan bahwa hasil interpretasi seseorang terhadap isi al-Quran masih rawan terkotaminasi oleh pikiran-pikiran yang bersifat manusiawi. Maksudnya adalah, apa yang mereka ungkapkan tentang Al-Quran masih dipengaruhi oleh pengalaman hidup pembacanya.

Sebuah simpulan tentang tidak diwajibkannya sholat lima (5) waktu, misal, adalah hasil dari pembacaan seseorang terhadap isi al-Quran yang hanya mewajibkan sholat saja (tanpa ada keterangan sholat lima (5) waktu. Salah satu aliran yang disinyalir sesat, Al Qiyadah misal, memiliki pemimpin yang notabenennya adalah mantan olahragawan. Jika kita kembali pada “the Image Theory of Meaning, maka penulis berpendapat bahwa keadaan lingkungan atau pengalaman hidup sang “nabi baru” itu (sebagai olahragawan) bisa memengaruhi pola pikirnya, yang pada akhirnya akan memengaruhinya dalam memandang sesuatu yang ada di sekitar lingkungannya. Bahkan menurut penulis, hal itu akan memengaruhi cara berfikirnya dalam menginterpretasikan isi pesan-pesan Ilahi yang ada dalam Al-Quran. Jadi, berdasarkan “the Image Theory of Meaning” penulis berpendapat bahwa makna yang tertulis dalam kitab suci Al-Quran akan diinterpretasikan berdasarkan gambaran (pola pikir atau pengalaman hidup) yang tersimpan dalam benak pembacanya.

Berdasarkan uraian di atas, maka menurut penulis, kita seharusnya berhati-hati dan selektif dalam memilih sebuah aliran-aliran agama yang sudah mulai menjamur di masyarakat, dalam hal ini adalah melihat pemimpin aliran tersebut. Sehingga kita bisa menilai kualitas hasil berfikir seseorang berdasarkan latar belakang hidup atau pengalaman hidup orang tersebut, sehingga kalau ada penyelewengan makna kita tidak mudah terpedaya.

Namun, benarkah pendapat penulis ini bahwa latar belakang hidup seseorang bisa memengaruhi hasil berfikirnya? Mungkin pembaca bisa mengatakan “tidak”, namun penulis, dengan pendekatan linguistiknya, akan tetap mengatakan “ya”, kartena hanya itu yang bisa dilakukan oleh penulis, yaitu berusaha mecari suatu kebenaran dari sudut pandangnya!!!!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini