NU DAN POLITIK: SEBUAH REFLEKSI PERANAN NU DALAM MASYARAKAT

Oleh: Hari PrastyoÂ

Pendahuluan

Suatu ketika, penulis sedang berbincang dengan salah seorang tokoh masyarakat di tempat di mana penulis tinggal (Jombang) tentang keberadaan NU. Namun, respon yang diberikannya benar-benar di luar dugaan penulis. Ia mengatakan bahwa ia tidak terlalu perduli dengan urusan politik. Ini merupakan respon yang tidak sesuai dengan stimulus yang diberikan oleh penulis. Dalam perbincangan tersebut, penulis mengambil topik NU sebagai bahan perbincangan. Namun, topik tentang politik justru menjadi respon lawan bicara penulis. Padahal, sejauh pengetahuan penulis, orang tersebut adalah warga nadhliyin. Akhirnya muncullah pertanyaan dalam benak penulis, sampai sejauh mana hubungan antara NU dan politik? Semakin romantiskah? Atau masih pada tahap perkenalan?

Oleh karena itu, berawal dari cerita di atas, maka penulis akan mengkaji tentang NU dan Politik. Dalam tulisan ini, penulis akan memulai bahasan dari respon yang diberikan oleh lawan bicara penulis. Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan pendekatan kebahasaan (linguistik) tentang fenomana bahasa yang terjadi antara penulis dan lawan bicaranya. Selanjutnya teori yang akan digunakan adalah teori stimulus respon oleh Bloomfield. Ia adalah salah satu tokoh ahli bahasa bidang semantik (makna).

NU: Sebuah Organisasi Sosial Keagamaan

NU yang sudah berdiri sejak tahun1926 Masehi merupakan salah satu organisasi yang mengedepankan kemaslahatan agama Islam. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar NU pasal 2 tahun 1984,1930,1952, 1979 yang mengatakan bahwa “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari madzhabnja Imam ampat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kamaslahatan agama Islam”.

Berdasarkan informasi di atas, maka kita bisa menilai bahwa tujuan utama didirikannya NU adalah sangat mulia, yaitu menjadikan kemaslahatan agama Islam. Jadi, organisasi ini mengemban tugas untuk menjawab permasalahan-permasalahan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan kata lain, NU harus mampu menjadikan dirinya sebagai suatu organisasi yang mampu mengedepankan nilai-nilai sosial keagamaan demi kemslahatan agama Islam. Seiring dengan berjalannya waktu, masalah sosial sering dihadapkan dengan masalah keagamaan. Oleh karena itu, peranan NU di wilayah ini harus semakin diperkuat. Sehingga NU diharapkan mampu memecahkan masalah-masalah sosial dan masalah-masalah keagamaan.

Argumen di atas semakin menguatkan pendapat bahwa NU merupakan organisasi sosial keagamaan, bukan sosial perpolitikan yang hanya memanfaatkan masalah-masalah sosial untuk kepentingan politik belaka. Oleh karena itu, keberadaan NU sebagai organisasi sosial kegamaan harus tetap dijaga demi tetap eksisnya NU di tengah-tengah masyarakat.

Namun, berdasarkan cerita penulis di awal tulisan ini, masyarakat seolah-olah sudah mengklaim bahwa NU sudah tidak menjalankan fungsinya sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan. Benarkah klaim tersebut? Marilah kita bahas dalam sub topic berikutnya.

Teori Stimulus Respon: Meneropong Keberadaan NU di Masyarakat melalui fenomena Bahasa

Dalam teori ini dijelaskan bahwa, tuturan bahasa itu penting karena mengandung makna dan makna itu sendiri terdiri atas hal-hal yang penting di mana tuturan bahasa itu dihubungkan, yaitu peristiwa praktis.[1] Dari uraian di atas terlihat bahwa arti sebuah bahasa memiliki hubungan yang sebanding dengan peristiwa yang ada di sekitar bahasa itu digunakan.

Oleh karena itu, jika kita kembali pada cerita yang dipaparkan oleh penulis di awal tulisan, maka fenomena bahasa yang muncul adalah NU merupakan bagian dari politik, dan hal ini sudah terkonstruk dalam benak masyarakat.

Apa yang didapatkan oleh penulis dari fenomena bahasa tersebut memang sesuai dengan kondisi objektif (praktis) yang ada di lapangan. Dampak yang muncul dari konstruksi pemikiran tersebut, yaitu: (1) bagi masyarakat yang gandrung dengan politik, maka ini merupakan peluang politik sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh NU atau bahkan NU akan dijadikan batu loncatan untuk menuju dunia perpolitikan, (2) bagi warga yang kurang gandrung dengan politik, maka yang terjadi adalah warga NU akan meninggalkan dan menanggalkan atribut NUnya. Hal ini sesuai dengan apa yang diceritakan oleh penulis dalam pendahuluannya.

Jika konsekuensi yang ke dua yang terjadi, maka hal ini akan berpengaruh sekali terhadap eksistensi NU dalam masyarakat. Oleh karena itu, NU seharusnya tetap pada jalurnya, yaitu lebih konsen pada kegiatan sosial keagamaan dari pada perpolitikan agar nama besar, jati diri, dan eksistensi NU dalam masyarakat bisa terjaga dengan baik.

Penutup

NU yang sejak lahir merupakan komunitas yang ingin menegakkan syiar Islam dalam masyartakat dengan memperhatikan budaya setempat seharusnya tetap berada pada jalurnuanya. Hal ini dikarenakan jalur yang dirintis NU sejak dahulu kala oleh ulama-ulama salaf merupakan identitas NU. Jadi, jika NU berpindah jalur (menuju jalur politik), maka bisa dipastikan NU akan kehilangan identitasnya secara perlahan. Wassalam…



 Kader IPNU UIN Malang yang sedang mempelajari linguistic di Fakultas Humaniora dan Budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris

[1] Samsuri, 1988, Berbagai Aliran Linguistik Abad XX, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm 57

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Multi-Interpretasi Al-Quran dalam Perspektif Linguistik